Senin, 31 Maret 2008

ISTANA DEWI IMPIAN

          Sudah beberapa hari ini uti selalu melamun dan menyadari di pinggir hutan. Ia sedih kerena karena emak sering marah-marah. Padahal, di rumah uti selalu rajin membantu, mencuci, menanak nasi, bahkan menjaga ke dua adiknya yang masih kecil. Namun tetap saja emak ering marah tanpa alasan yang jelas.
Uti bosan dan rasanya ingin pergi saja dari rumah. Tapi kemana? Uti bingung. Ah, seandainya bapak masih ada, keluhnya sedih, tentu nasibku tidak akan emalang ini.sambil berandar pada sebuah pohon besar. Uti menangisi nasibnya yang malang itu.

          “Mengapa kau menangis, uti? Tiba-tiba terdengar suara merdu dari arah belakang.seketika uti menoleh dan terkejut. Nampak olehnya seorang wanita sedang terenyum.
“Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu, kata wanita itu.
‘Si .. si .. siapakah engkau? Tanya uti gugup.

          “Namaku dewi impian, bidadari dari istana impian. Aku datang kemari melihat kau beredih hati. Dan aku bermaksud hendak menolongmu, uti. Kata wanita itu. Masih di liputi oleh rasa takut uti menjawab dengan gugup,” aku tidak mengerti maksudmu,dewi impian.”
“Bukankah kau ingin pergi dari rumah?” tanya dewi impian”.
Dengan ragu-ragu uti mengangguk.

          “Nah, akan kuajak kau pergi ke istanaku,” ucap dewi impiansambil mengulurkan tangannya.
“mengapa harus ke sana?”tanya uti.

          “ karena di sana banyak makanan lezat, pakaian serta beraneka macam mainan bagus buatmu.kau dapat bermain dengan sepuas hati, sehingga akan melupakan keedihanmu itu, uti,” jawab dewi impian. Hampir tak percaya uti menatap dewi impian. Pakaian bagus? Belum pernah ia memilikinya, apalagi beraneka macam mainan. Dan makanan yang erba lezat! Olala, tentu sangat nikmat sekali.
“Bagaimana?” tanya dewi impian.
“Baiklah,” jawab uti dengan mata berbinar-binar.
“Tapi dengan apa kita pergi kesana?”

          Dewi impian tersenyum, kemudian berkata “kau akan tahu jika telah kau pegang tanganku ini.”
Akhirnya uti memegang tangan dewi impian, tapi kemudian terkejut, karena mendadak tubuhnya melayang di udara. Makin lama makin tinggi. Dengan gemetar uti menggenggam tangan dewi impian lebih erat lagi. Ia tidak berani memandang ke bawah.

          “jangan takut, uti, kau tidak akan jatuh ke bawah!” kata dewi impian menenangkan.
Uti kembali tenang, bahkan kemudian meraa takjub. Bersama dewi impian, ia terbang menerobos angin dan sesekali menerjang segumpal awan lembut.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Sebuah istana yang megah, lengkap dengan taman bunga yang indah.

          “Inikah istana impian itu, dewi ?” tanya uti pensaran.
“ Benar,”jawab dewi impian sambail mengajak uti keliling istana. Berkali-kali uti berdecak kagum, melihat keindahan serta kemewahan perabot istana yang semuanya terbuat dari emas itu.
Akhirnya mereka tiba di suatu ruangan yang cukup luas. Di sana berkumpul beberapa anak kecil seusia uti. Mereka nampak gembira, bermain, dan bernyani bersama.
“Nah, bermainlah bersama mereka, uti, karena aku masih banyak urusan,”kata dewi impian kemudian sambil berlalu.

         Uti sangat senang tinggal di istana. Ia bebas bermain dan bermalas-malasan, tanpa harus bekerja berat. Apalagi di istana impian terebut uti juga bisa menikmati berbagai macam makan lezat sepuas-puasnya. Uti benar-benar bahagia, sehingga lupa kepada emak dan kedua adiknya di rumah.
Pada suatu malam uti bermimpi buruk. Ia melihat emak dan ke dua adiknya sedang menangis karena lapar. Mereka memanggil nama uti serta minta agar di beri makanan. seketika uti tersentak bangun, lalu menangis teredu-sedu.

          “Mengapa kau menangis lagi, uti?”tiba-tiba saja dewi impian muncul dan duduk di tepi ranjanag.
“Saya teringat pada emak dan adik-adik, dewi,”tangis uti semakin tersedu, lalau di ceritakannya mimpinya itu.
“Dan sekarang saya menyesal telah meninggalkan mereka. Saya ingin pulang saja, dewi,”kata uti.
“Tapi bukankah di sini cukup menyenangkan, uti?” tanya dewi impian.

          “Memang benar, tapi saya juga sayang pada emak dan adik-adik di rumah. Lagi pula siapa yang akan menolong emak jika saya tetap berada di sini?” lanjut uti. Mendengar ucapan uti, dewi impian menjadi terharu sekaligus tidak sampai hati. Kemudian sambil terenyum, di belai-belainya kepala uti dengan penuh kasih sayang.
“Baiklah. Jika itu memang sudah menjadi pilihanmu, aku tidak akan mencegahnya lagi,” kata dewi impian akhirnya.

          “Sekarang, peganglah tanganku ini,” kata dewi di ikuti uti menuruti kata-kata sang dewi seperti ketika pertama kali datang, dewi impian membawa uti terbang. Hingga bebearapa saat kemudian mereka mendart tetap di depan rumah uti.

          ‘Kau mamang anak yang baik, uti...” kata dewi impian sebelum berpisah.
“Mekipun kau dapat hidup senang di istanaku, namun ternyata kau lebih suka berkumpul dengan keluargamu. Aku sangat kagum atas pilihanmu itu. Dan ebagai tanda penghargaanku, terimalah hadiah ini, uti. Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya,”kata dewi impian sambil menyerahkan sebuah hadiah berupa kalung emas permata kepada uti. Namun belum sampai ia mengucapkan terima kasih, secepat kilat dewi impian melesat terbang ke atas.

          Dengan perasaan haru sekaligus bahagia, uti mengetuk pintu dan berseru memanggil emaknya. Pintu di buka oleh emak.
“Uti, anakku!” tangis emak sambil memeluk uti.

          “Ke mana aja kau selama ini? Emak pikir kau tidak akan pernah kembali,” kata emak.
Maafkan saya, karena telah membuat emak sedih,”uti balas memeluk emak dengan hangat.

Jumat, 07 Maret 2008

Teater

Teater

Teater yang Gagap Menilai Tanda

Bicara tentang teater Indonesia adalah gumaman dengan segumpal emosi kemarahan, kesedihan, keputusasaan, ketidakpedulian. Tetapi juga kepingan harapan dan impian yang coba untuk terus disusun dengan tangan yang gemetar dan napas tersengal.
Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, semacam arisan ibu-ibu kampung yang bergilir dari rumah yang satu ke rumah lainya.
Ketika dia berkeinginan untuk beranjangsana ke daerah yang baru, ke rumah salah seorang sahabat yang di kenal di luar kampung, maka yang muncul kemudian adalah kecemburuan, kesinisan, penelanjangan tubuh untuk mencari kotoran yang terselip di antara lipatan tubuh yang tersembunyi, lalu berseru dengan puas, ”Apa ini?”
Selama rentang 365 hari yang masih terngiang, ternyata kita masih harus meraba-raba, apa yang sebenarnya sudah terjadi dalam ranah teater itu. Memang ada letupan-letupan kecil, igauan atau suara-suara, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat-sesaat, yang hanya terdengar dalam lingkaran area kecil; dan berlalu sunyi. Kemudian berganti dengan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran kerja otak dan rimbunan emosi perasaan kita. Kisah tentang pemboman; pemerkosaan atau kehidupan politik di negeri ini, misalnya; ternyata lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang sangat teaterikal. Sungguh sangat menyentuh.
Teater hanya mampu merasa sedih dan gundah karena hampir semua pranata dalam dirinya telah dicuri dan dimanfaatkan pihak lain. Teater kehilangan cerita, kehilangan plot, gagap menilai tanda. Teater sudah kalah posisi. Merasa termarjinalkan. Tidak lebih dari sekadar hiburan untuk kalangan sendiri.
Hal itu mengakibatkan kian parahnya keputusasaan yang telah lama menjangkiti teater. Untuk mengimbangi dominasi kisah-kisah itu, teater lalu berjibaku dengan centang-perenang kondisi tubuhnya.
Ada nafsu untuk tetap dianggap masih terlibat dengan permasalahan di luar dirinya. Sebuah semangat yang membabi buta, tidak jelas mau bicara apa. Teater menjadi gerakan yang demonstratif, bak pahlawan Don Quixote. Ada ketidakpedulian pada proporsi dirinya sendiri. Yang penting ”wah”.
Di sini permasalahan jadi lain, bukan pada hasil presentasi teater sebagai wacana seperti yang seharusnya, tapi justru hanya pada apa-apa yang menggerogoti tubuh teater. Sepertinya ini sesuatu yang mengada-ada dan terkesan dramatis, tapi itulah yang terjadi. Mengapa kemudian teater dianggap selalu penuh dengan masalah yang bertahun-tahun tak terselesaikan.

***

Teater tidak harus melulu sesuatu yang kontekstual, atau bahkan reaksioner. Tetapi juga sebuah hasil penjarakan dari yang ada. Sebuah hasil penilaian—meski bukan suatu yang niscaya—yang membuat penontonnya merasa selalu terusik kesadarannya. Sebuah mimpi yang terus mengganggu.
Teater bukanlah media koran atau televisi yang mempunyai sifat untuk terus memperbarui setiap peristiwa yang diberitakan. Sebab kalau seperti itu, apa pentingnya teater? Dia cuma corong yang menyediakan dirinya untuk ditiup oleh siapa saja yang ingin meniupnya. Analogi yang tepat, mungkin: Teater adalah sebuah jurnal.
Sebuah terbitan jurnal tidak harus memuat sesuatu yang masih hangat dan kontekstual, tapi lebih pada sesuatu yang dapat menjadi wacana dengan sebuah gagasan. Sebuah tema yang sederhana dan remeh-temeh, bisa menjadi besar dan menarik karena ada gagasan di dalamnya. Di situlah posisi teater.
Memperlihatkan sesuatu yang luput dari penglihatan. Sehingga, hanya untuk menunjukkan rasa keterlibatan dirinya pada setiap permasalahan, teater tidak harus bicara seperti tentang pembunuhan massal, tentang korupsi atau tentang terorisme, misalkan. Teater harus membebaskan dirinya dari segala kepentingan dari pihak mana pun di luar kepentingan dirinya sendiri.

***

Teater sebagai sebuah seni pertunjukan, memang sangat diminati. Apalagi dalau di dalamnya diselipkan seorang public figure, dia dapat menarik sponsor dan laku dijual. Sesuatu yang jamak di dunia hiburan.
Tapi teater bukan sekadar seni pertunjukan—itu hanya bagian dari wajah teater. Pada sisi yang lain, dia adalah sebuah proses yang terus bergerak maju untuk suatu perubahan, sebagai hasil kerja berpikir dan merasa.
Ketika peristiwa-peristiwa begitu meneror keseharian kita, menciptakan sekat dalam melihat dan menilai, ada wilayah yang tanpa sadar kita tinggalkan. Sebuah ruang yang menyediakan dirinya untuk tempat bertemu dan berinteraksi antara imaji-imaji purba kita dengan sari-pati dari setiap peristiwa.
Saling bersimbiosis membentuk suatu pengertian dengan daya ungkap dan bahasa yang baru. Sebuah pemahaman estetik dari realita. Dari sini kesenian(baca: teater) berakar. Bila seperti itu, tentunya ada yang tersisa setelah pertunjukan usai; ketika lampu sudah dimatikan; sesudah sutradara dan pemain menikmati ”orgasme” di panggung. Apa yang akan dibawa pulang oleh penontonnya? Kita tahu, ini permasalahan yang sebenarnya dari teater. Yang membelenggu kedirian teater.
Sampai saat ini, teater Indonesia masih takut dengan perubahan yang mungkin pada dirinya sendiri. Tidak yakin dan gamang, sehingga harus bertahan dengan posisi yang sudah dimiliki. Maka yang terjadi hanyalah pengulangan-pengulangan bentuk agar dirinya tidak dianggap mati. Padahal, justru ketika dia sudah merasa mapan; tidak berani untuk selalu me-radikal-i dirinya sendiri; statis, saat itulah dia sudah mati. Bukan lagi teater dalam artinya yang utuh. Hanya sekadar teater sebagai seni pertunjukan yang menghibur, atau menjelma seni tradisi. Itu pun kalau berhasil. Tidak lebih.
Pintu 2002 sudah ditutup. Sisa-sisa makanan dan kotoran mulai dikumpulkan ke dalam bak sampah. Yang tertinggal hanya bau yang menggantung di udara, suara-suara yang kian sayup di balik pintu. Juga, sedikit kesan dan rasa yang terlanjur menggayut di kalbu. Dan teater, adalah sebuah organisme yang hidup. Dia dapat bergerak ke mana saja sesuai keinginan dirinya. Yang selalu ingin mencoba memasuki wilayah dan bahasa yang baru. Teater tidak pernah diam dengan dirinya sendiri. Dia bisa merayap, kadang melompat-lompat. Sesekali terbang menuju lembah, lalu berenang sampai ke dasar palung: Menyampaikan mimpinya sendiri.

Kamis, 06 Maret 2008

AYAT AYAT CINTA

Sekapur Sirih dari Penulis

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bismillaah, alhamdulillaah, wash shalaatu wassalaamu

'ala rasuulillaah!

Dalam hidup ini tak ada yang lebih saya cintai dari Allah dan Rasul-Nya. Lakal hamdu wasy syukru ya Rabb. Duhai Tuhanku, kepada-Mu hamba bersimpuh, hamba sangat bersyukur telah Engkau anugerahi rasa cinta yang indah ini. Rasa cinta yang indah inilah yang membuat saya merasa hidup ini—dengan segala suka dan dukanya— terasa indah.

Saya merasa bahwa Allah begitu menyayangi dan mencintai saya dengan segala nikmat yang telah diberikan kepada saya. Nikmat yang saya sadari maupun yang tidak saya sadari. Selain nikmat rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, nikmat yang rasakan sangat agung adalah nikmat indahnya mengenal Islam. Islam, yangruhnya adalah ruh cinta kepada semesta alam.

5

Saya merasa bahwa Allah begitu menyayangi dan mencintai saya dengan segala anugerah yang telah diberikan kepada saya. Di antara anugerah yang membuat saya merasa begitu disayang Allah adalah anugerah suka membaca dan menulis. Dengan banyak membaca saya semakin mengenal Allah, semakin mengenal Rasul-Nya, semakin mengenal sifat dan jati diri orang-orang besar yang saleh dan mulia. Dengan membaca saya merasakan bisa melipat ruang dan waktu. Saya bisa merasakan hidup di pelbagai

tempat dan saat. Saya bisa menghayati pelbagai macam perasaan jiwa. Saya bisa erasakan ketulusan Abu Bakar saat menemani hijrah Baginda Rasul. Saya bisa merasakan dahsyatnya doa Baginda Nabi saat berdoa sambil menangis menjelang Perang Badar. Saya bisa merasakan kesedihan kota Madinah saat Rasulullah wafat. Saya bisa merasakan rasa pilu tiada tara saat Sayyidina Husein, cucu Rasulullah Saw. dibantai di Karbala. Saya bisa merasakan semangat Imam Bukhari saat bertahun-tahun mengembara mengumpulkan hadishadis sahih. Saya bisa merasakan kobaran keberanian tiada tara saat mendengarkan pidato Thariq bin Ziyad saat membakar kapal-kapal tentaranya begitu menginjak tanah Andalusia. Dengan membaca saya bisa merasakan indahnya musim semi di Istana Al Hamra. Saya bisa merasakan dahsyatnya rasa rindu Majnun pada Laela. Saya bisa mencium aroma darah yang menggenang di Kota Baghdad karena pembantaian yang dilakukan oleh Tentara Tartar. Saya juga merasakan aroma yang sama

6

Ketika Amerika melakukan pembantaian yang sama di Baghdad. Saya bisa merasakan perasaan hancur seorang ayah di Palestina yang anak kesayangannya ditembak mati di pangkuannya oleh Tentara Israel, seperti yang dialami ayah Muhammad Al Dorrah. Saya bisa merasakan ketegangan hidup bergelut dengan laut dan ikan hiu sendirian berhari-hari dan bermalam-malam seperti yang dialami Pak Tua dalam The Old Man and The Sea. Saya bisa merasakan rasa patriot tiada tara yang dirasakan oleh Soekarno dan Hatta saat memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah setetes perasaan yang saya dapat dari membaca. Masih ada ribuan perasaan dan pengalaman dari

membaca yang tidak mungkin saya ceritakan di sini. Inilah satu anugerah yang saya rasakan sangat indah, saya rasakan betapa Tuhan sangat mencintai saya. Dan dengan menulis saya merasakan kenikmatan yang tidak kalah dengan kenikmatan membaca. Dengan menulis saya bisa menciptakan perasaan saya sendiri. Saya bisa mengajak jiwa saya semangat, bahagia, sedih, haru, bergetar dan lain sebagainya. Dan saya bisa mengajak orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Dengan menulis saya bisa engajak jiwa saya semangat ketika sedang melemah. Saya bisa mengajak jiwa saya

optimis memandang terang cahaya ketika sedang merasa sedih dan redup. Dengan menulis saya seolah bisa mengobati diri saya sendiri ketika saya sedang sakit. Dan

dengan menulis saya merasa lebih berdaya. Saya merasa menemukan ruang yang pas untuk mengajak diri sendiri dan orang lain berusaha menjadi lebih baik dan berdaya.

7

Dan dengan menulis saya merasakan betapa Tuhan begitu mencintai saya. Allahu akbar! Kali ini saya menulis tiga novelet yang terkodifikasi dalam tajuk Dalam Mihrab Cinta ini. Perlu sidang pembaca ketahui bahwa sesungguhnya novelet Dalam Mihrab Cinta ini ingin saya luncurkan bersamaan dengan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1. Namun karena alasan marketing, akhirnya Penerbit Republika baru bisa meluncurkannya sekarang. Tentu, setelah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1 menggelinding ke pasar. Padahal

Sejatinya novelet Dalam Mihrab Cinta ini telah siap terbit jauh sebelum dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1 tersebut. Begitulah. Saya hanya bisa merencanakan, tapi hasilnya,

Allah jualah yang menentukan. Baiklah! Tiga novelet yang saya maksud adalah sebagai berikut: Novelet pertama berjudul "Takbir Cinta Zahrana". Dalam novelet yang sebagian isinya saya angkat dari kisah nyata ini saya mencoba menulis tentang indahnya ketegaran dan ketulusan di jalan Allah. Saya juga mencoba me-muhasabah-i tindakan orang seperti Zahrana yang lebih lebih mementingkan karier akademik daripada karier

membangun rumah tangga dan membina generasi. Akademik dan karier bagi siapa pun, memang penting, tapi membangun rumah tangga dan membina generasi juga tak kalah pentingnya. Alangkah baiknya jika keduaduanya berjalan seiring seirama. Itulah yang saya harapkan dari hasil me-muhasabah-i "Takbir Cinta Zahrana", dengan menyajikan "kasus" Zahrana. Novelet kedua berjudul "Dalam Mihrab Cinta". Novelet ini adalah ringkasan atau petikan dari roman

8

"Dalam Mihrab Cinta" yang sedang saya siapkan. Sengaja saya kenalkan setengah dari alurnya kepada pembaca agar nanti lebih familiar dan lebih mantap dalam membaca roman "Dalam Mihrab Cinta." Meskipun berbentuk petikan atau ringkasan, namun

roman "Dalam Mihrab Cinta" ini insya Allah sudah menyuguhkan jalinan cerita yang utuh. Dengan novelet ini saya mencoba menguraikan pepatah yang sangat terkenal di tanah Jawa yaitu, "Becik ketitik olo kethoro" (kebaikan akan tampak dan kejahatan akan kelihatan). Saya juga mencoba mengajak para generasi muda untuk optimis menatap masa depan. Memang belum detil dalam novelet ini. Karena sekali lagi, ini adalah

ringkasannya. Lebih detilnya insya Allah ada dalam novel sesungguhnya yang masih dalam proses pematangan. Novelet ketiga berjudul "Mahkota Cinta". Sesungguhnya,

novelet ketiga ini merupakan hasil riset kecil saya terhadap beberapa kehidupan mahasiswa pascasarjana Indonesia yang tengah menempuh studi di negeri

Jiran Malaysia, terutama di universitas tertuanya, yaitu Universiti Malaya. Saya terketuk menyajikannya dalam bentuk novelet karena banyak kisah menarik dari perjalanan ereka yang bisa kita ambil hikmahnya. Subhanallah!

Akhirnya, lazimnya sebuah "Sekapur Sirih", rasanya tidak bijak kalau saya tidak mengucapkan terima kasih kepada mereka yang berjasa bagi lahimya karya saya ini.

Pertama dengan rasa cinta mendalam saya sampaikan rasa terima kasih kepada Ummi, ibu yang melahirkan, merawat, mendidik dan mendoakan diriku setiap

9

saat. Juga kepada Bapak, yang selama ini memberikan keteladanan untuk hidup bersahaja dan ikhlas berjuang dijalan Allah. Juga kepada isteriku tercinta Muyasarotun Sa'idah yang sedemikian tulus menemani hidup ini dalam suka dan duka. Terima kasih juga kepada buah hatiku: Muhammad Neil Author, yang celoteh dan tawanya sangat mengkayakan jiwa dan menyalakan api semangat berkarya. Tak lupa kepada adik-adikku tercinta; Anif Sirsaeba, Ahmad Mujib, Ali Imron, Faridarul Ulya dan M. Ulinnuha. Mereka semua selalu menyemangati kakaknya untuk terus menulis karya terbaik.

Juga terima kasih kepada Pak Ahmadun Y. Herfanda yang sangat tulus memberikan masukan-masukan yang sangat berguna bagi kemajuan saya menulis. Kepada Pak

Tommy, Pak Awod, Mbak Hanik, Mas Arif dan temantemandi Republika. Kepada A. Basith El Qudsy, Sa'dullah, Kasmijan dan santri-santri Basmala semuanya. Tak lupa

kepada Mbak Helvi, Mbak Asma, Mbak Intan, Mas Irfan, Mas Gola Gong, Mas Ekky Mbak Dee, Mas Haekal, dan segenap teman-teman seperjuangan di FLP Pusat. Juga kepada siapa saja, yang dengan tulus telah mendoakan saya dan mengapresiasi karya-karya saya. Kepada mereka semua saya sampaikan jazakumullah khairal jaza'. Wassalamu'alaikum. Pesantren Basmala Semarang,15 Januari-20 Mei 2007

Habiburrahman El Shirazy

10

Takbir Cinta Zahrana

(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa) Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna daridunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institutteknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.

Satu

13

Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan

seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita. Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya. Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh

Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka. Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios

Pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak. Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga

cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam.

Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari

pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,

semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak

14 15

terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya. Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan

pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta? Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat, "Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus. "Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya. "Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai." "Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara serak. "Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang

16

Diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu." "Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan." "Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam. Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas

Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata

Bagaimana. Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah

Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya. Moral adalah

nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina. Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya

ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang.

17

Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang. Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?" Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.

Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tibatiba

wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengansebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1

***

Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya

Menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka

Berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang

jadi penerus keturunan.1 Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku?

18

la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya

dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,

"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."

Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya. Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan

Menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi. Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua

19

Orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini. Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak

menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas. Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin

tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam

yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini

banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya. Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman

menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara.

Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan

20

Suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan

tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu, "Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus

mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari." Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu

menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja

tidak mau ia dengar. Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,

juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan, "...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan." Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata, "Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya.

AYAT AYAT CINTA


nama : Kasmono
ttl : pasir.P
scholl : xmk pku
fs : Kas_poenya@yahoo.co.id
E-mail : sama ama fs

dah dulu yahh .........hehehehee...